Magic Ticket

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salahkan tengah malam saat itu, ketika sebuah pop up pesan muncul usai aku menangis gila dan mengetik kekesalan amburadulku di burung cilik biru karena kalah dalam war ticket. Bila tahu seperti ini jadinya, lebih baik sekalian tidak jadi berangkat nonton konser.

Sudah jauh-jauh ke Tanggerang, tapi tidak dapat menikmati konser mas mas idola dengan tenang, dan juga sekarang malah terjebak di kamar mandi bersama teman di area konser itu sangat menyedihkan.

"Sis, kita harus gimana. Bentar lagi lagu kesukaan nih," kata temanku, Rona, yang masih saja memikirkan konser alih alih nasib kami yang dicurigai dan dikejar petugas keamanan.

"Lagian, kok bisa sih barcode kita masih bisa ke-scan masuk meski pada akhirnya tetep ketahuan dan jadi gini nasibnya," katanya lagi.

"Ya mana aku tahu, Na. Aku juga sedih ini lho, padahal semua sudah kupersiapin. Banner kecil, bong unyu kita, dan juga ya paling penting energi biar dinotice mas-masnya," kataku sarkastik sambil menunjukkan isi tasku sedikit padanya. Mengingatkannya kalau tidak hanya dia saja yang juga ingin lihat konser lancar.

Rona jadi cemberut dengan komentarku dan ia kemudian beralih membuka hp nya untuk mengawasi update terbaru media sosialnya terkait konser hari pertama ini.

"Eh tapi seriusan, itu tadi pak polisi sampai dateng banyak itu ngejar kita kah?" tanyanya sembari menggilir halamannya ke bawah dan sedikit tersentak menemukan berita kalau ada yang pingsan dan penghentian konser.

Aku terdiam mendengar berita itu dan kemudian mengajak Rona keluar dari toilet. Aku mendapati beberapa orang juga tengah di toilet ini, untung kami mengobrol sembari berbisik bisik tadi.

"Berarti pakpolnya bukan ngejar kita." Rona menunjukkan layar gawai pintarnya yang berisi berita padaku sembari berjalan kembali ke tribun yang ternyata sudah lenggang.

"Aduh, ayo, berarti ini kesempatan kita!" kataku.

Aku mengajak Rona keluar dari gedung dan berpura-pura kalau kami adalah penonton yang baik. Bukan seorang penipu yang tiba-tiba barcodenya bisa ke-scan masuk padahal jelas tiket milik kami adalah palsu akibat typo yang benar-benar terlihat. Walau pun kami baru menyadarinya setelah berada di dalam konser.

Kami keluar dengan aman ketika bantuan medis masih di tempat dan beberapa orang tengah menggerombol melihat orang yang pingsan.

"Jadi bagaimana? Lapor polisi?" tanya Rona mengenai nasib tiket ini sembari berbisik mengikutiku dari belakang.

"Rasanya itu campur aduk. Masalahnya kita sadar itu palsu tapi kita masuk di konser yang terlihat seperti sengaja meskipun kita terlambat menyadarinya."

Rona mengangguk setuju dan kemudian mengajakku untuk duduk-duduk terlebih dahulu di kafe terdekat.

"Aku akan menuntut ganti rugi, lagi pula orang yang menawariku tiket sepertinya orang yang bertanggung jawab sekali," kataku dan segera menghubungi penolongku tengah malam itu, kalau tidak salah namanya Rea. Untungnya ia membalas dan mengizinkanku meneleponnya secara langsung untuk berdiskusi mengenai ganti rugi karena ini tiket palsu.

"Selamat malam, jadi bagaimana kak? Mengenai tiket yang kami sediakan." Suara wanita renyah dari seberang telepon begitu enak didengar malam-malam seperti ini. Namun, itu tetap tidak mengubah suasana hatiku yang buruk.

"Saya sudah percaya dengan tiket yang kakak tawarkan tapi kok ini palsu ya, bagaimana ini? Saya bandingkan dengan milik orang-orang yang berada di konser di sini ada typo yang sangat terlihat," kukatakan itu sembari membolak balik kertas tiketku dan Rona yang sudah sedikit lecek akibat kejadian gawat hari ini--menyelinap kabur dari himpitan orang ke toilet.

"Oh, sepertinya ada kecacatan sihir penampilan. Maafkan perusahaan kami ya kak. Untuk kompensasinya bagaimana kalau tiket gratis hari kedua dan ketiganya berdiri paling dekat tribun?" tawarnya.

Aku tertegun sesaat. Sihir katanya. Zaman sekarang masih ada saja hal seperti itu, ini mengherankan. Namun, mendengarkan kompensasinya membuatku tergiur. Eh, tunggu sebentar. Sihir itu buruk. Aku harus cari tahu dulu. Perusahaan seperti apa juga itu yang menjual tiket palsu.

"Ah, tenang kak. Kami memang perusahaan yang menyediakan tiket sihir untuk menonton konser-konser tertentu, ya meski memang palsu tetapi kakak tetap akan dapat menikmati konser tersebut. Lagipula kakak berjanji membayar lunas dengan harga yang mahal untuk menonton konsernya, sangat disayangkan sekali hari ini konser dibubarkan lebih cepat, bukan?"

Aku tidak tahu kalau berita itu juga sudah sampai ke telinganya dengan cepat dan aku mengangguk setuju. Sangat sayang sekali padahal jadwal hari ini masih tersisa 5-6 lagu.

"Karena itu kami jadi belum bisa mengambil pembayarannya. Oleh karena itu, kami berikan kompensasi gratis tiket dua hari itu, baru kami ambil pembayarannya," tambahnya lagi yang kudengarkan sangat baik.

Aku menelan ludah dan mencoba mengingat minggu lalu saat usai kalah war ticket itu. Bukannya aku sudah mengirimkan pembayarannya kemarin lewat m-banking? Mengapa ia meminta lagi?
Apa ia minta tunai ya? Aku mempertanyakan ingatanku terhadap biaya dari calo tiket ini. Namun, sebentar, yang kupermasalahkan bukan biaya tapi kepalsuannya. Bagaimana bisa tidak terdeteksi mesin barcode.

"Sistem keamanan di Indonesia terbilang cukup mudah ditembus kak. Jadi, perusahaan kami yang internasional ini bisa membuatkan tiket yang sangat mirip," katanya yang seperti tahu kegelisahanku. Padahal aku hanya diam di balik telepon.

"Berarti kemampuan teknologinya lebih maju ya? Makanya disebut sihir?" Konklusiku dan di seberang telepon tidak mengindahkan pertanyaanku dan malah menanyaiku balik soal tawarannya.

Aku pun bersemangat dan mengiyakan kompensasinya untuk menerima tiket, tidak lupa aku meminta invoice-nya. Namun, kakak itu malah menolak mengirimkan invoice. Katanya ia akan menemuiku langsung usai konser. Aku tidak ada pilihan lain dan mengikuti kemauannya.

Kuceritakan hal mengenai kompensasi ini pada Rona yang tengah memakan roti panggang yang ia pesan. Meski ia sudah mendengar pembicaraan kami tetap saja aku menceritakan untuk lebih rinci dan alasanku menerima kompensasinya. Yakni, lumayan kan dapat tiket gratis padahal semuanya udah habis sekarang.

Rona juga tiba-tiba bergidik ketika aku menunjukkan saldo bank-ku yang ternyata memang belum kutransfer pada calo tersebut, dan ia meminta pembayaran tunai.

"Kok bisa ada calo tiket palsu belum minta bayaran sih. Terus emangnya dia tahu kita yang mana usai dari konser?" tanyanya yang membuatku mengedikkan bahu.

"Kalau kita main kabur gimana? Sepertinya calo-nya kurang waras," tambahnya lagi sembari setengah tertawa, kali ini karena situasinya tidak pas jadi terasa garing. Lagipula yang ditertawakan Rona bukanlah hal lucu. Itu mengerikan.

"Sepertinya enggak bisa, jangan macam-macam, kata dia, perusahaannya internasional. Kalau kita kenapa kenapa gimana? Teknologinya maju banget sampai bisa bikin tiket palsu yang mirip asli banget."

"Justru aneh aja kasih kita tiket gratis. Emang totalnya berapa sih?" tanyanya sembari menawariku mengincipi rotin panggangnya.

Aku menggeleng tidak tahu, lalu memotong sedikit roti panggang Rona, dan memakannya.

"Ehm, tapi uang enggak masalah kan? Yang masalah ini cuma tiket. Sulit banget dapet tiketnya."

Rona smembenarkan itu karena memang sulit untuk mendapat tiket konser idola kami kali ini, mengingat katanya ada unreleased song yang ditampilkan terlebih dahulu di konser hari kedua dan ketiga. Tentunya ini menambah hype kami terhadap konser.

Jadi, kami menikmati konser hari kedua dan ketiga juga dengan sangat baik, tidak ada kerusuhan seperti hari pertama karena ada satuan pengaman yang menjaga ketat. Selain itu, tiket yang dikirimkan melalui paket juga datang cepat ke kontrakan kami. Kami pun mengikuti konser dengan euforia yang tinggi. Kami tahu tiket kami palsu tapi tidak masalah karena kami berhasil masuk dengan aman.

Dan usai konser di hari ketiga yang hampir tengah malam, aku dan Rona bertemu dengan calo yang kuhubungi. Seorang wanita berpakaian kasual formal tengah menunggu kami dan langsung mengenaliku. Hal ini sudah kuduga karena mereka dari perusahaan besar. Bisa saja mereka sudah tahu informasi pribadiku. Jujur ini sangat mengerikan tetapi aku tahu tidak aku akan lenyap tiba-tiba. Ini Indonesia.

"Halo kak, saya Yildkirea atau Rea dari perusahaan uaferoi magia yang kemarin berkomunikasi dengan kak Sisca. Saya di sini untuk mengambil pembayarannya."

Ia menjabat tanganku dan aku mengucapkan terimakasih karena berkatnya kami bisa menonton konser dengan senang. Namun, aku mengajaknya minum kopi terlebih dahulu karena ini sudah cukup larut dan aku perlu menyegarkan diri suapaya tidak salah hitung memberikan uang.

"Kak Rea, saya izin ambil tunai dulu ya. Totalnya berapa?"

Wanita berambut pendek dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya dari tadi, tiba-tiba mengendurkan senyumannya sedikit. "Lho, kak Sisca tidak ingat biaya total tiketnya?"
Aku menggeleng karena saat itu benar-benar tidak stabil sehingga melupakan hal penting itu.

"Itu tidak bisa dibayar dengan uang."

Kak Rea kemudian menyuruhku duduk di samping Rona yang tengah terlelap dan bersandar di meja karena kelelahan.

"Tapi kami meminta rasa euforia yang kalian miliki."

Aku kaget ketika tangannya tiba-tiba menutup mataku. Aku tidak tahu kalau itu begitu berat sampai aku mendengar ada pelayan yang menyajikan kopi padaku. Dan aku jadi terbangun.

"Ada apa kak?" tanya pelayan yang menyajikan kopi padaku di tempat yang sangat sepi ini.

Aku merasa aneh karena setelah lama mengurung diri di kamar karena menangis malah tertidur di kafe. Terlebih membawa perlengkapan konser pula. Segera saja kubangunkan Rona, kemudian membayar kopiku dan bergegas pulang.

"Jadi, apa kalian menonton konser saat itu?" tanya teman kerjaku dan Rona keesokan harinya.

Aku menggeleng. "Memangnya kapan kami menonton konser? Kami kehabisan tiket dan kami menangis tiga hari berturut-turut."

Rona juga manggut-manggut.

Malam itu, aku menangis panjang bersama Rona yang kubangunkan, hingga kami tertidur, dan menangis lagi ketika bangun karena gagal beli tiket di tiga hari cuti kami.

Memang nasib seorang penggemar berat yang kalah war ticket itu menyesakkan. Iya kan?

~
1499 kata

Dengan prompt unyu dari
Uname: chocoryx
Prompt: Kamu dan temanmu akan pergi ke konser pekan depan. Kamu sudah menyiapkan semuanya terutama tiket konser yang kamu beli lewat seseorang yang menawarkan jasa titip. Semuanya berjalan dengan lancar hingga pada hari-H kamu mengetahui bahwa tiket yang kamu beli adalah tiket palsu.

A/N:
Ngepas banget huhuhu, serius ini jadi tantangan tersendiri untuk aku yang gabisa nulis sol, atau pun sejenisnya T^T dan ya akhirnya agak maksa belok genre dikit. Ditambah udah gak pernah nulis. BOOM. Numero uno sekali. Gatau mau bilang apa lagi.

Tapi makasih banget buat chocoryx aku jadi berusaha belajar nulis di luar zona nyaman. Prompt mu enak, tapi aku yang terlalu parah untuk eksekusinya ditambah kepentok de el lain :"
makanya buru-buru selesain ini //heh

Maaf ya kalau belok genre dikit
dan sekali lagi makasii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro